Kamis, 06 Oktober 2016

Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia
Pada hari ini kita berada pada bulan yang mulia dan merupakan permulaan bulan atau awal tahun pada kalender hijriah. Yaitu bulan Muharam. Bulan Muharam ini adalah merupakan salah satu bulan yang mulia sebagaimana firman Allah:
إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ ٣٦

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna, Pertama: pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan/peperangan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Dan kedua: pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”

Dipilihnya bulan Muharam sebagai awal tahun hijriah adalah berdasarkan peristiwa pertama kali Nabi Muhammad dan para sahabatnya melakukan hijrah dari Makkah menuju Yastrib atau Madinah. Mereka rela meninggalkan segala harta, termasuk rumah dan perabotnya. Mereka rela meninggalkan tanah air menuju tanah yang tidak jelas peluang bisnis maupun ladang pekerjaan di sana. Bahkan lebih dari itu, dengan hijrah tidak sedikit para sahabat yang mempertaruhkan nyawa mereka. Termasuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar, yang dikejar dan diburu hidup atau mati.

Tanpa hijrah, mungkin tidak ada peradaban Islam yang dimulai Rasulullah dari Madinah. Tanpa hijrah, mungkin tidak akan ada kemenangan demi kemenangan yang diraih Rasulullah dan para sahabatnya hingga mampu memfutuhkan Makkah dan menyebarkan Islam ke seluruh jazirah Arab. Hingga sekarang Islam dipeluk oleh lebih dari 1,2 milyar penduduk bumi.

Karena itulah, ketika Umar bin Khatab hendak menentukan tahun baru Islam, beliau memilih Muharam sebagai bulan pertama. Hijrah yang diambil sebagai titik tolak peradaban Islam. Maka kalender Islam pun disebut sebagai kalender hijriyah.

Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia

Lantas bagaimana dan apa amalan yang harus kita lakukan dalam menghadapi tahun baru hijriyah atau bulan Muharam ini?
1.      Muhasabah dan Introspeksi Diri
Hari berganti dengan hari dan bulan pun silih berganti dengan bulan. Tidak terasa pergantian tahun sudah kita jumpai lagi, rasa-rasanya sangat cepat waktu telah berlalu. Semakin bertambahnya waktu, maka semakin bertambah pula usia kita. Perlu kita sadari, bertambahnya usia akan mendekatkan kita dengan kematian dan alam akhirat.
Sebuah pertanyaan besar yang seharusnya terbetik pada hati dan pikiran kita "Semakin bertambah usia kita, apakah amal kita bertambah atau malah dosakah yang bertambah??!" Maka pertanyaan ini hendaknya kita jadikan alat untuk Muhasabah dan Introspeksi diri kita masing-masing.
Muhasabah berasal dari kata HASIBA YAHSABU HISABAN yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikan dengan menilai diri sendiri atau mengevaluasi, atau introspeksi diri.

Lalu, bagaimana kita bermuhasabah atau berintrospeksi? Apakah sebelum mengerjakan sesuatu atau setelah mengerjakan sesuatu?
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan Muhasabah ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
Pertama: Sebelum beramal, yaitu dengan berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan atau tidaknya. Artinya berfikir dulu sebelum bertindak. Apakah amalku ini bermanfaat dan diridhoi Allah ataukah malah sia-sia dan tidak diridhoi Allah?
Kedua: Introspeksi diri setelah melakukan perbuatan. Ini ada tiga jenis:
1.      1. Mengintrospeksi ketaatan berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya atau belum ? Misalnya kita sudah rajin sholat, rajin puasa, kita koreksi apakah amal yang telah kita lakukan itu benar-benar karena Allaha tau karena manusia? Agar dipuji manusia?
2.     2.  Introspeksi diri terhadap setiap perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya.
3.      3. Introspeksi diri tentang perkara yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan? Misal kebiasaan kita melakukan pekerjaan kita bergaul dengan sesama apakah sudah sesuai dengan ketentuan Allah atau menyalahi aturan Allah? Dll.

2, Puasa Sunah atau yang dikenal dengan puasa ‘Asyura’
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.[H.R. Muslim  dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]

Lantas apa keutamaan puasa Asyura’?
سئل رسول الله صلّى الله عليه و سلّم عن صيام يوم عاشوراء فقال : يكـفّـر السنة الماضية – رواه مسلم

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ’Asyura (tanggal 10 Muharram), maka Beliau bersabda : ”Bisa menghapus (dosa-dosa kecil) satu tahun yang lewat. (HR. Muslim)
Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.

Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [HR. Muslim (1134)]

Juga sabda Nabi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi” [Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

“Puasalah pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]

Jadi Anjurannya agar kita berbeda dengan umat Yahudi adalah berpuasa pada tanggal 9 , 10 atau dan 11 Muharram. Lalu bagaimana jika kita hanya berpuasa pada hari ‘Asyura’ saja? Ada sebagian ulama mengatakan makruhnya berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena hal tersebut mendekati penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. meskipun sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja

Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia
Di hari ‘Asyura ada orang-orang yang memperingatinya dengan kesedihan, seperti orang Syi’ah yang memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibunuh di Karbala oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas meninggalnya Husain.
Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.
Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.))

“Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.”
Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?

Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.
Mereka berdalil dengan hadits lemah:
(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ.))

“Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”
Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.

Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia

Oleh karena itu marilah kita di bulan awal tahun yang mulia ini senantiasa menambah amal ibadah kita. Sehingga kita bisa mengarungi hari-hari kita dengan ridho dari Allah Swt.

Kamis, 18 Agustus 2016

اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا محَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia
Marilah pada siang hari ini kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tak lupa kita bersyukur atas segala karunia rahmat dan nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita semua. Utamanya pada bulan ini kita memperingati kenikmatan yang besar yang diberikan Allah kepada kita, yaitu nikmat kemerdekaan,.
563166_2980505954288_1187730694_nKemerdekaan adalah nikmat yang sangat besar yang diberikan Allah kepada Negara kita. Karena dengan adanya kemerdekaan, kita masih bisa menghirup udara segar sampai saat ini. Andaikan belum merdeka, entah apakah kita masih hidup atau sudah mati terkena lemparan granat atau tembakan para penjajah. Dengan kemerdekaan pula kita bisa beribadah dengan tenang dengan khusyuk tanpa rasa khawatir akan adanya bombardier pesawat penjajah. Dengan kemerdekaan pula kita bisa bercengkerama dengan keluarga, dengan istri ataupun anak-anak kita. Sungguh, kemerdekaan adalah nikmat yang luar biasa yang diberikan Allah kepada Negara kita. Bukan pemberian Belanda atau pun Jepang.

Ma’asyirol muslimin jamaah Jum’ah Rahimakumullah

Ada kisah, ada seorang raja Persia yang bernama Kisra Anu Syirwan melakukan observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumah tersebut. Sang raja tertawa dan bertanya, "Wahai kakek, kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau tanam?". Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, "Wahai raja, laqad gharasa man qablanâ fa akalnâ orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang wa naghrisu nahnu liya’kula man ba‘danâ, dan kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita".

Dari cerita tadi kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini kendati pun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan tersebut kita rasakan sekarang.

Jika kita telah diberikan sebuah pohon, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita membiarkan pohon tersebut kering dan akhirnya mati atau kita akan merawatnya agar pohon tersebut tumbuh berkembang dan berbuah?

Tentu, kita akan merawat pohon tersebut. Bagaimana kita merawat pohon kemerdekaan ini agar bisa berkembang dan menghasilkan buah yang segar?

Allah swt berfirman dalam surat Al Hajj ayat 41:

ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ ٤١

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”

Kalimat ”Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” bisa berarti suatu bentuk kemerdekaan dari penjajahan. Ada empat strategi yang harus dilaksanakan dalam mengisi kemerdekaan ini:

Pertama, Iqamatus Shalah, mendirikan shalat dalam rangka membangun moralitas dan akhlakul karimah.
Suatu bangsa akan dapat langgeng ketika memiliki moralitas dan kredibilitas yang tinggi. Kunci membangun moralitas terletak pada pelaksanaan ibadah shalat, dan keta’atan kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt. ”Sesungguhnya shalat mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. QS. Al Ankabut: 45.


Shalat juga menjadi barometer, ukuran, sukses tidaknya seseorang di akhirat kelak, sebab pertama kali yang akan dihisab dari setiap manusia nanti adalah masalah shalat. Jika shalatnya baik, otomatis semua amalan yang lain akan dinilai baik, sebaliknya jika kualitas shalatnya buruk, maka dengan sendirinya seluruh perbuatannya dianggap buruk. Shalat juga suatu perintah yang diakhir hayat Rasulullah diwasiatkan pada umatnya agar jangan sampai meninggalkannya, Rasulullah berujar: Ash Shalah… Ash Shalah.

Ayat ini juga menggunakan redaksi jama’ ”aqamush shalah” yang artinya banyak, yaitu dilaksanakan dengan berjama’ah di masjid. Shalat berjama’ah di masjid juga menjadi cermin syi’ar dan kekuatan umat Islam.
Dengan pelaksanaan shalat yang berkualitas seperti ini, maka moral manusia akan terbentuk dengan baik.

Kedua, Iitauz zakah, menunaikan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial.
Agama Islam tidaklah hanya mengurusi masalah ruhani dan akhirat saja, namun juga sangat memperhatikan keseimbangan kehidupan sosial bermasyarakat. Itu dibuktikan dengan anjuran dibanyak tempat di Al Qur’an, penyebutan perintah shalat selalu diiringi dengan perintah berzakat.
Zakat, atau mengeluarkan harta yang kita punya untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya adalah dalam rangka membersihkan pendapatan atau harta kita dari yang tidak halal atau yang masih samar-samar. Zakat juga sebagai upaya untuk mengerem nafsu bakhil dalam diri seseorang, karena kecendrungan seseorang itu cinta terhadap harta dan dunia. Zakat juga sebagai simbol kepedulian seseorang kepada sesama.

Ketiga, Amar makruf nahi munkar, jaminan kepastian dan penegakan hukum.
Kecenderungan kekuasaan adalah mendorong pelakunya untuk menyimpang dan menyalah gunakan jabatan. Banyak contoh dalam sejarah, fir’aun misalkan yang berupaya untuk melanggengkan kekuasaannya dengan segala cara.

Tingkatan amar makruf dan nahi mungkar sudah diatur dalam agama. Yaitu dengan pendekatan kekuasaan atau tangan, bagi yang berwenang. Dengan lisan atau nasihat bagi siapapun yang bisa memberikan nasehat. Jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka dengan pengingkaran dalam hati. Inilah selemah-lemah iman seseorang.

Dalam konteks jaminan kepastian dan penegakan hukum, pernah ditegaskan Rasulullah saw, ketika ada usaha dari para sahabat untuk minta keringanan hukuman bagi seorang wanita bangsawan yang berzina. Namun dengan tegas Rasul menolak dan mengatakan, ”Ketahuilah, penyebab kehancuran umat terdahulu, adalah karena ketika orang kaya mencuri, maka tidak ditegakkan hukuman. Namun kalau yang mencuri itu rakyat kecil, seketika itu hukuman ditegakkan dengan seberat-beratnya. Ketahuilah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Seseorang sama dimata hukum. Hukum tidak bisa dibeli dan digadaikan.
Keempat, Mengembalikan urusan kepada Allah swt semata.

Ketika usaha untuk membangun moralitas dan akhlakul karimah lewat pelaksanaan ibadah shalat. Dan menumbuhkan kepedulian sosial yang dibuktikan dengan mengeluarkan zakat. Serta proses amar makruf dan nahi munkar sudah dijalankan dengan seimbang, maka selebihnya kita serahkan urusan kehidupan kepada kehendak Allah swt. Karena Dia-lah yang akan mengatur urusan seluruh manusia. Dan Allah swt pasti menepati janji-Nya, yaitu akan menolong orang yang mengikuti kehendak-Nya. Allah swt berfirman:

وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩

Artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”  QS. Ali Imran : 159.

Disini, manusia tidak perlu menyombongkan diri karena kecerdasan, kecanggihan perlengkapan atau bahkan banyaknya pendukung. Merasa semua bisa diatur, tanpa menyertakan Allah swt.
Sungguh, manusia kecil tiada berarti jika dibandingkan dengan kehendak Allah swt. Oleh karena itu segala persoalan sudah seharusnya disandarkan pada Allah swt.

71 tahun Indonesia merdeka tidaklah waktu yang pendek, jika dilihat dari umur rata-rata manusia. Namun kemerdekaan hakiki bangsa ini masih belum menjadi bukti. Memperingati kemerdekaan tidak sekedar perayaan serimonial saja, tidak sekedar semarak warna-warni bendera dan umbul-umbul, juga tidak sekedar aneka lomba yang tidak mendidik.

Oleh karena itu, kita harus tetap mengawasi dan juga mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang telah Allah syari’atkan dan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan belum pernah berhenti. Kita harus selalu memupuk rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang berdaulat. Jangan memprovokasi warga untuk memecah-belah yang akhirnya akan timbul kekacauan. Karena kita telah keluar dari penjajah satu, kita akan menghadapi penjajah yang lain. Bung Karno pernah mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Hadirin Jamaah Jum’ah yang berbahagia
Kiranya cukup sekian yang bisa kami sampaikan semoga kita diberi kekuatan oleh Allah untuk mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya.

بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم، ونفعنى وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم
وتقبل منى ومنكم بتلاوته إنه هو السميع العليم، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحي

Kamis, 21 April 2016

َلْحَمْدُ لِلهِ الْوَاحِدِ اْلاَحَدِ الْفَرْدِالصَّمَدِ الَّذِىْ لَم يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفْوًا اَحَدْ. اَشْهَدُاَنْ لآ اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تَكُونُ سَبَبَ النَّعِيْمِ الْمُؤَبَّدُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمِ المُمَجَّدْ، سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ مَا رَكَعَ رَاكِعٌ وَسَاجِدٌ
اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُتَّصِفِ بِالْكَرِمِ وَالْجُوْدِ، وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ والتَّابِعِيْنَ لَهُمْ باِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الْمَوْعُدِ وَسَلِّم تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
اَمَّابَعْدُ فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَحَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ فَاِنَّهَا مِفْتَاحُ الجَنَّةِ وَهِيَ عَنْ حَرِّ جَهَنَّمَ جُنَّةٌ

Hadirin jamaah Jum’at ingkang minulyo

Minangka purwakaning atur keparenga kula ngunjukaken puji lan syukur wonten ngarsa dalem Allah Ta’ala awit peparingipun rahmat lan kanugerahan kawilujengan dateng kito sedaya, sahingga ngantos dinten punika kito saget sesarengan makempal ing papan minulya punika,. Panyuwun kito mugi sedaya amal ibadah kito tinampi wonten ngarsa dalem Allah Ta’ala. Amin.
Monggo wonten ing kasempatan meniko kulo lan panjenengan sedoyo sami ningkataken iman soho taqwo kito dateng Allah SWT, kanthi ngelampahi nopo ingkang dipun perintah soho nebihi awisanipun Allah. Kanthi taqwa kito saget wilujeng, selamet dumugi akhirat mangkeh.  Jalaran inggih namung kanti iman lan taqwa punika kito sedaya bade manggih kawilujengan , Allah sampun njanjekaken kanti dawuhipun :

 وَنَجَّيۡنَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ١٨

Lan Ingsun nyelametake marang wong wong kang pada iman lan wong kang pada tansah netepi taqwa”.(QS. Fushshilat: 18).

Ugi boten kesupen kito tansah ngraosaken syukur dateng Allah kanti nikmat ingkang dipun paringaken dumateng kito sedoyo. Khususipun nikmat iman lan nikmat Islam.

Hadirin jamaah Jum’at Rahimakumullah

Alhamdulillah wonten ing dinten meniko kulo lan panjenengan sedoyo tasih saget manggihi wulan ingkang mulyo inggih puniko wulan Rojab utawi Rejeb. Ingkang wonten ing wulan meniko wonten peristiwa ingkang bersejarah inggih puniko peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Ingkang wonten peristiwa meniko Nabi angsal wahyu saking Allah arupi sholat 5 wekdal.

Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam nampi perintah sholat 5 wekdal saking Allah subhaanahu wa ta’aala kanthi cara ingkang istimewa sanget. Allah ta’aala ngradinaken (memperjalankan) hambaNipun wonten ing dalu nglampahi horizontal journey from earh to earth saking masjid Al-Haram, Makkah dumugi Masjid Al-Aqsho, Baitul Maqdis (Palestina). Selajengipun Allah ta’aala ngradinaken Nabi Muhammad kanti vertical journey from earth to the heavens in the sky saking Masjid Al-Aqsho, Baitul Maqdis kepanggih langsung kalih Allah ta’ala wonten ing Sidrotul Muntaha. Lajeng Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam nampi perintah sholat.

Bilih saking pentingipun sholat meniko Allah langsung paring wahyu piyambak dateng Nabi tanpo lantaran malaikat Jibril. Milo ibadah sholat meniko ibadah ingkang boten saget dipun enyang utawi tawar. Benten kalih zakat, poso, lan haji. Menawi zakat ingkang angsal kewajiban namung tiyang ingkang mampu. Poso menawi musafir utawi sakit ingkang netepi syarat, kepareng boten poso. Haji ingkang kewajiban namung tiyang ingkang mampu biaya, ugi mampu lahir batin ipun. Nanging sholat meniko tiyang ingkang sugih, melarat, saras utawi gerah, jaler utawi estri, muqim utawi musafir, rakyat, pejabat sedoyo kewajiban nindakaken sholat. Boten kiyat ngadek, lenggah. Boten kiyat lenggah, turon miring, boten saget, mlumah, boten saget mlumah, sak saget-sagetipun. Boten saget maos Fatihah, maos ayat sak sagetipun. Boten saget maos ayat saget maos dzikir. Boten saget maos dzikir mendel mawon.

Milo saking meniko monggo kito sami ngrekso dateng sholat kito. Amargi benjang wonten ing akherat amal ingkang pertama kali dipun tangkletaken inggih puniko masalah sholat. Menawi sholatipun sae, sedoyo amal diitung sae. Suwalikipun, menawi sholatipun awon, asring nilar sholat, sedoyo amal diitung awon.

Wonten pitutur bilih sholat wonten ing agomo meniko ibarat sirah wonten ing jasad. Menawi kulo lan panjenengan sedoyo gesang boten gadah tangan tesih saget gesang. Menawi gesang tanpo sikil nggih tesih saget gesang. Nanging kulo lan panjenengan boten saget gesang menawi sirah niki boten wonten. Milo kanjeng Nabi dawuhaken sholat meniko dados sokone agomo. Kanjeng Nabi paring dawuh :
الصَّلاَة عِمَادُ الدِّيْنِ، فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنِ، وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنِ

Shalat iku minangka cagake agama, sapa wonge njejekake shalat, mangka ateges njejekake agama, Lan sapa wonge tinggal shalat ateges wong iku ngrubuhake agama” (HR. Muslim).

Hadirin Jamaah Jumat ingkang minulya

Kejawi sholat meniko perintahipun Allah, sholat ugi gadah faidah ingkang ageng inggih puniko:
1.        Nglebur duso

Saking Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, nyaosi perso bilih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ngendikan::,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ ، يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا ، مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ » . قَالُوا لاَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا
قَالَ « فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ، يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا »

Opo awakmu ngerti, sakupama ana siji kali neng cedhak lawang salah siji siro kabeh, nuli dheweke adus saka banyu kali kuwi saben dina ping lima, apa arep turah regedane senajan sethithik?” Poro sahabat njawab, “Boten turah sethithika regedane.” Kanjeng Nabi ngendiko, “mula ngonoa umpama sholat lima wektu, Allah mbrusakake dosa (mergo sholat)” (HR. Bukhari no. 528 dan Muslim no. 667)
 Saking Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dawuh,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر

Antara shalat limang wektu, antara Jumat siji lan Jumat liyane, antara Ramadhan siji lan Ramadhan liane, iku iso nglebur dosa antara karo-karone sakjeruning wong mou ngadohi dosa-dosa gede.” (HR. Muslim no. 233).

2.    Ati tentrem

Sholat meniko salah setunggalipun sarono kulo lan panjenengan sedoyo eling marang Allah. Tiyang ingkang eling marang Allah ati dados tentrem, ayem.
Allah Ta’ala paring dawuh,

إِنَّنِيٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ ١٤
Saktemene Aku Iki Allah, ora anaPangeran sakliyane Aku, mongko sembaho Aku lan nindakno shalat kanggo eling marang Aku”. (Thaha: 14)

Wonten ing QS. ar-Raad ayat 28

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨
"(yoiku) wong-wong sing iman lan ati deweke kabeh dadi tentrem karo eling marang Allah. Elingo, mung karo eling  Allah ati dadi tentrem".

3.    Nyambung silaturahmi

Kulo lan panjenengan sedoyo dipun anjuraken sholat kanti berjamaah. Amargi sholat jamaah gadah faidah ingkang ageng sanget antawisipun ganjaran dipun tikelaken ugi saget dados sarono silaturahmi kulo lan panjenengan sedoyo menawi nglampahi sholat jamaah wonten ing masjid ugi mushola. Kanti sholat jamaah teng masjid kulo lan panjenengan sedoyo saget kepanggih rencang, sederek, konco lan sanes-sanesipun. Menawi boten wonten jamaah teng masjid rekaos kulo lan panjenengan saget pepanggihan. Amargi wekdal ingkang boten enten, sibuk kaliyan pedamelanipun piyambak-piyambak.

4.     Bucal maksiat pribadi piyambak lan masyarakat
Allah Ta’ala dawuh,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ
saktemene sholat iku biso nyegah soko penggawean-penggawean kang jember (olo) lan munkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).

Tembung fahisyah ingkang dimaksud wonten ing ayat meniko inggih puniko pendamelan ingkang awon ingkang dipun remeni howo nafsu kados zina, liwath (homoseks/lesbian), lan sanesipun. Ingkang nami munkar inggih puniko pendamelan saklintunipun fahisyah ingkang dipun ingkari akal lan fitrah kados syirik, mejahi tiyang (membunuh), maling, mendem, mutus tali silaturahmi lan sanes-sanesipun.

Saklintunipun sholat saget bucal maksiat wonten ing pribadi piyambak ugi sholat saget bucal maksiat wonten ing lingkungan kulo panjenengan sami. Saget dipun titeni, teng pundi kemawon menawi daerah meniko tesih katah tiyang ingkang sholat khususipun sholat jamaah teng masjid, kemaksiatan wonten ing lingkungan meniko boten wonten utawi kirang. Menawi lingkungan meniko masyarakatipun nilar sholat mesti katah utawi wonten kegiatan utawi acara ingkang berbau kemaksiatan.

Pramila monggo kito tansah ngupaya lan mbudi daya amrih tumandang ibadah shalat tansah dipun tingkataken, kanti tansah nyinaoni ilminupun saha tata cara shalat ingkang langkung sae. Jalaran mboten sekedik antawis kito ingkang nindakaken shalat, nanging mboten kanti mangertosi ilmu ilmunipun, syarat rukunnipun, makruh lan sunatipun lan ugi batalipun shalat. Tumindakipun namung sarana apalan lan kulinan, nanging tuntunan lan piwucalipun shalat mboten dipun mangertosi. Eman sanget tiwas kangelan wusananipun mboten keleresan, shalat kito menika mila tansah perlu dipun dandosi. Sinten mawon tiyangipun tetep perlu ningkataken kwalitas ibadah shalatipun. Menapa tiyang menawi sampun lawas anggenipun nindak aken shalat mesti shalatipun sampun sae? Mboten. Amergi shalat boten kemawon apal waosan saha gerakanipun, nanging kados pundi sagetipun anggaota lan manah saget manunggal kumadep, kumawula dateng ngarsanipun Allah. Ampun ngantos badanipun tumandang shalat, ruku’ sujud, lisanipun ndremimil maos lafadlipun waosan shalat, nanging manahipun suwung mboten nderek shalat, utawi malah kluyuran kesah ngetutaken pengangen-angenipun. Sahingga katingalipun tiyang shalat, nanging piyambakipun supe menawi nembe shalat. Bab menika Allah maringaken pepenget :

فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥
Saktemene neraka wail iku kanggo wongkang pada shalat, yaiku wong kang pada lali karo shalate” ( QS.Al Ma’un : 4-5 ).

Pramila, shalat saget dados kenikmatan lan maringi manfaat ingkang ageng dateng pribadi piyambak menawi saget sholat kanti khusyu’.

قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢
Saktemene bejo sanget wong-wong sing iman. Yoiku wong-wong sing khusyu’ ono ing sak jeroning shalat”. (Al Mukminun: 1-2)

5.    Sholat dados pepadang

Dipun sebataken wonten ing hadits Abu Malik Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam paring dawuh,
وَالصَّلاَةُ نُورٌ

Shalat iku pepadang.” (HR. Muslim no. 223)

Ugi wonten hadits saking Burairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam paring dawuh,

بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِى الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Wenehono kabar bungah kanggo wong sing mlaku menyang masjid ono ing jero peteng, saktemene besok deweke arep gowo pepadang sing sampurna ono ing dino kiamat” (HR. Abu Daud no. 561 dan Tirmidzi no. 223. Al Hafizh Abu Thohir ngginemaken bilih hadits meniko shahih)

Hadirin jamaah Jumat ingkang minulya

Shalat ingkang dados inti lan pokokipun agami Islam mila mboten kenging dipun sepelekaken, kedah tansah kito jagi lan kito reksa, syukur saget katindakaken kanti jama’ah, amargi langkung enteng tanggung jawab kito, ugi ganjaran ingkang cetha kito mangertosi dipun tikel tikelaken dening Allah. Mugi kito kalebetna kawula ingkang tansah nuhoni kewajiban shalat kanti ajeg lan jejeg, pikantuk ridlanipun Allah Ta’ala.


بَارَكَ الله لِى وَ لَكُمْ فِى القُرْاَنِ الْعَظِيْم وَنَفَعَنِ وَاِيَّاكُمْ بِالْاَيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْم اِنَّهُ هُوَ التَّوَّبُ الرَّحِيْم وَقُلْ رَبِّ اْغفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّحِمِيْنَ

Kamis, 14 Januari 2016


Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia
Marilah kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan menjalankan apa yang diperintah dan meninggalkan segala larangan-larangan. Tak lupa kita harus senantiasa mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala kenikmatan yang telah diberikan kepada kita. Utamanya Kenikmatan yang berupa rezeki atau rejeki.

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah
Allah adalah Dzat Maha Pemberi Rezeki dan rezeki kita telah dijamin dan ditentukan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”

Sebelum kita lahir di dunia ini rezeki kita telah ditentukan oleh Allah. Tidak hanya rezeki, tapi ajal kita, amalan kita sudah ditentukan oleh Allah ketika malaikat meniupkan ruh ke dalam rahim. Juga hidup kita didunia ini semua telah ditentukan oleh Allah. Bukan kita yang menentukan. Allah yang menentukan kita hanya menerima dan berikhtiar.

نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَتَّخِذَ بَعۡضُهُم بَعۡضٗا سُخۡرِيّٗاۗ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٞ مِّمَّا يَجۡمَعُونَ ٣٢
Artinya: “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Andaikata manusia bisa menentukan penghidupannya tentulah manusia menginginkan hal-hal yang baik atau yang indah. Manusia pasti ingin punya wajah yang ganteng atau cantik. Mempunyai badan yang tinggi dan gagah. Hidup bergelimang kekayaan daripada kemiskinan, dan lain-lain. Oleh karena itu, Allah tidak menjadikan wajah elok, kekayaan, tinggi jabatan sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang. Allah mengukur kemuliaan dari amal sholih dan ketaqwaan.

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Jum’ah Rahimakumullah
Seorang muslim harus berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah takdir Allah. Jika kita berkeyakinan seperti itu maka kita akan merasakan kebahagiaan hidup di dunia. Merupakan pemahaman yang keliru ketika kita sudah yakin bahwa rezeki sudah ditentukan Allah kemudian kita hanya duduk berpangku tangan tanpa ikhtiar dan usaha, bermalas-malasan. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk bekerja keras tanpa harus melupakan akherat.
Firman Allah

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qoshosh:77)

Jika kita hidup bisa memilih, pasti kita akan memilih hidup bergelimang harta. Akan tetapi sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi bahwa hidup kita telah ditentukan Allah. Seberapa banyak atau sedikit harta kita, harus kita terima dengan lapang dada. Bukanlah banyak-sedikitnya harta yang menjadi ukuran kebahagiaan. Namun yang menjadikan kebahagiaan adalah bila harta tersebut diberkahi.

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Jum’ah yang berbahagia
Harta yang berkah adalah harta yang mendatangkan kebaikan dan bertambah. Berkah (barokah) artinya ziyadatul khair, yakni “bertambah-tambahnya kebaikan”
Harta yang berkah akan membuat pemiliknya selalu tenang. Harta yang berkah tidak selalu harus banyak, tapi selalu ada ketika di butuhkan. Harta yang berkah meskipun sedikit mampu menghidupi dan mencakupi apa saja yang dibutuhkannya. Harta yang berkah tidak saja berkah bagi pemilik harta, tapi juga orang lain bisa ikut merasakannya. Sedikit harta tapi berkah lebih baik daripada banyak harta namun tidak berkah. Bisa saja harta banyak tapi kemudian dirampok. Harta banyak kemudian sakit berkepanjangan sehingga habis untuk berobat. Nauzubillahmin dzalik.

Lantas bagaimana usaha kita agar harta atau rezeki kita diberkahi?
Pertama, agar harta berkah adalah jika harta tersebut didapat dari usaha yang halal.
إن الله تعالى طيب لا يقبل إلا طيبا
“Sesungguhnya Allah Maha baik, dan tidak menerima kecuali yang baik” (HR. Bukhari Muslim).
Hadist ini menjelaskan bahwa harta yang berkah adalah harta yang disenangi Allah. Ia tidak harus banyak. Sedikit tapi berkah lebih baik daripada yang banyak tetapi tidak berkah. Untuk mendapatkan keberkahan harta harus halal. Karena Allah tidak mungkin memberkahi harta yang haram. Mencari rezeki yang halal adalah perintah Allah. Sebagaimana firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqoroh : 172)

Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 100 menjelaskan bahwa tidaklah sama kwalitas antara harta haram dengan harta halal, sekalipun harta yang haram begitu menakjubkan banyaknya. Sekali lagi tidaklah sama antara harta halal dengan harta haram. Harta haram dalam ayat di atas, Allah sebut dengan istilah khabits.

قُل لَّا يَسۡتَوِي ٱلۡخَبِيثُ وَٱلطَّيِّبُ وَلَوۡ أَعۡجَبَكَ كَثۡرَةُ ٱلۡخَبِيثِۚ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠٠
Artinya: “Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan"

Kata khabits menunjukkan sesuatu yang menjijikkan, seperti kotoran atau bangkai yang busuk dan tidak pantas untuk dikonsumsi karena akan merusak tubuh: secara fisik maupun mental. Tidak ada manusia yang mau memakan kotoran dan yang busuk. Sementara harta halal disebut dengan istilah thayyib, artinya baik, menyenangkan dan sangat membantu kesehatan fisik dan mental jika dikonsumsi.

Ma’asyirol Muslimin Jamaah Jum’ah yang berbahagia
Kedua, agar harta berkah selanjutnya adalah mengeluarkan zakatnya (jika mencapai nisab) dan menjadikannya sebagai sarana ibadah. Zakat, infak, sedekah, membantu sesama,
Dalam masyarakat, banyak kita jumpai orang yang hidupnya telah mapan, bahkan kaya raya, tapi tetap saja kikir, pelit, bakhil. Bahkan semakin kaya semakin bakhil, sehingga semakin hari semakin merasa kurang saja. Karena merasa selalu kekurangan, ia pun enggan bersedekah. Padahal, menurut Al-Quran, kalau kita ingin dicukupkan rezeki oleh Allah SWT, haruslah bersedia berbagi. Dan ketahuilah bahwa sifat kikir pelit dan eman untuk menginfaqkan harta adalah bisikan dari syetan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 268.

ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةٗ مِّنۡهُ وَفَضۡلٗاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٢٦٨
Artinya: “Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna ayat "Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan", maksudnya: syetan menakut-nakuti kalian dengan kefakiran supaya kalian tetap menggenggam tangan kalian, sehingga tidak menginfakkanya dalam keridhaan Allah.

Menurut Al-Jazairi, ayat "Dan menyuruh kamu berbuat buruk" berarti syetan menyeru kalian untuk mengerjakan perbuatan buruk, di antaranya bakhil dan kikir. Karenanya Allah Ta'ala memperingatkan para hamba-Nya dari syetan dan godaannya, lalu mengabarkan bahwa syetan menjanjikan dengan kefakiran, artinya: menakut-nakuti mereka dengan kemiskinan sehingga mereka tidak mengeluarkan zakat dan shadaqah. Sebaliknya ia menyuruh mereka untuk berbuat buruk sehingga mengeluarkan harta mereka dalam keburukan dan kerusakan, serta bakhil mengeluarkannya untuk kebaikan dan kemaslahatan umum. Padahal kenyataannya sebaliknya. Harta yang dikeluarkan di jalan Allah akan mendatangkan keberkahan.

Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia

Diakhir khutbah ini saya berpesan. Marilah kita mencari rezeki Allah yang telah Allah sediakan untuk kita dengan cara yang halal agar kita hidup diberikan keberkahan. Amin.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!