Hadirin Jamaah Jum’at yang dimulyakan Allah
Marilah pada siang hari ini kita senantiasa memanjatkan syukur dan
menambahkan ketaqwaan kita kepada Allah Swt dengan melaksanakan apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.
Hadirin Jamaah Jum’at yang dimulyakan Allah
Manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah kepada-Nya
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ
إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
Artinya
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”
Kita beribadah bukan hanya masalah hubungan dengan Tuhan
(hablumminallah) saja. Tetapi juga hubungan kita terhadap sesama manusia
(hablumminannas). Ibadah kita terhadap Allah yaitu dengan cara mentaati segala
perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Sedangkan
wujud ibadah kita terhadap sesama adalah dengan berbuat baik (ihsan), saling
berbagi (sedekah,zakat), saling tolong menolong dalam kebaikan (ta’awun ‘alal
bir), memuliakan tamu (ikrom dzoif), dan lain sebagainya. Jika hidup kita ini
dipenuhi dengan kegiatan ibadah, tentu saja Allah akan memberikan penghargaan
(reward) atau pahala. Sebaliknya, jika hidup kita inkar kepada Allah dengan
melakukan kemaksiatan maka akan mendapat hukuman (punishmen) atau siksa.
Ma’syirol muslimin rohimakumullah
Tentunya kita semua ingin mendapat pahala. Jika demikian, kita
harus memperbanyak beribadah atau beramal shalih. Akan tetapi, walaupun sepertinya
kita melakukan ibadah tetapi hal tersebut malah tidak diterima atau tidak
dipandang oleh Allah sebagai amal ibadah.
Tentunya kita tidak ingin amal ibadah yang kita lakukan sia-sia
atau tanpa hasil dan tidak ada pahalanya. Adapun perkara yang bisa menyebabkan
ibadah kita diterima oleh Allah Swt sebagaimana yang disebutkan oleh Syeckh
Abdul Qodir Jaelani dalam kitab Al-Ghunyah adalah:
1.
Taubat
Syarat utama diterimanya ibadah adalah bertaubat. Sebagaimana
firman Allah:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ
وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri
Taubat adalah kembali taat kepada Allah dan menyesal dengan
bersungguh-sungguh terhadap dosa yang telah dilakukan serta memohon ampunan
dari Allah. Hukum taubat adalah wajib. Baik itu dosa terhadap Allah maupun dosa
terhadap sesama manusia. Jika dosa itu berkaitan dengan manusia, hendaklah ia
meminta maaf.
2.
Ikhlas
Perkara yang menyebabkan diterimanya amal adalah ikhlas. Sebagaimana
firman Allah:
وَمَآ
أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ
٥
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus.”
Para
ulama berbeda pendapat tentang makna ikhlas. Al-Hasan berkata : Aku bertanya
kepada Khudzaifah tentang makna ikhlas dan ia menjawab, “Saya juga bertanya
kepada Nabi tentang apakah itu ikhlas dan beliau menjawab, “Aku telah bertanya
kepada Jibril tentang apakah itu ikhlas dan Jibril menjawab, “Saya telah
bertanya kepada Allah tentang ikhlas dan Allah berfirman, “Ikhlas adalah salah
satu rahasiaKu yang Aku titipkan kepada hati orang-orang yang Aku cintai.”
Sa’id
bin Jubair berkata, ikhlas adalah seorang hamba memurnikan agama dan amalannya
hanya untuk Allah, tidak menyekutukan Allah dan tidak memamerkan amalnya kepada
seorangpun. Adapun tanda keikhlasan menurut Dzun Nun al-Mishri adalah pertama,
orang yang bersangkutan memandang sama antara pujian dan celaan manusia. Kedua,
melupakan amal yang ia lakukan. Ketiga, lupa atas haknya menerima pahala di
akherat karena amal tersebut.
Menurut
Imam Al-Ghazali ikhlas itu ada 3 tingkatan. Pertama, ikhlas awam.
Yakni, ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut
kepada siksaan-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya. Kedua,
ikhlas khawas, yaitu ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh
harapan agar menjadi hamba yang lebih dekat dengan Allah dan dengan
kedekatannya kelak ia mendapatkan ‘sesuatu’ dari-Nya. Ketiga,
ikhlas khawas al-khawas, yaitu ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena atas
kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada
adalah milik Allah dan hanya Dialah Tuhan Yang Maha Segala-galanya.
Hadirin
Jamaah Jum’at yang berbahagia
Sifat
dan perbuatan hati yang ikhlas itu merupakan perisai moral yang dapat
menjauhkan diri dari godaan setan. Menurut At-Thobari, hamba yang muhlis adalah
orang-orang mukmin yang benar-benar tulus sepenuh hati dalam beribadah kepada
Allah, sehingga hati yang murni dan benar-benar tulus itu menjadi tidak mempan
dibujuk rayu dan diprovokasi setan.
Ibnu
Qoyyim Al-Jauziah mengatakan, “Amal tanpa keihklasan seperti musafir yang
mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.
Oleh sebab itu, selain menjadi kunci diterimanya amal ibadah, ikhlas juga
membuat perbuatan kita bermakna dan tidak sia-sia. Perbuatan yang bermakna
adalah perbuatan yang berangkat dari hati yang ikhlas.
Di ceritakan, ada seorang ahli ibadah yang mengunjungi suatu
kaum, kaum itu mengadu kepadanya bahwa di tempat mereka itu ada pohon yang
sering disembah penduduk, mereka tidak menyembah Allah. Ahli ibadah (abid) itu
marah, lantas ia membawa kampak akan menebang pohon itu. Iblis (nenek moyang
setan) dalam bentuk seorang syekh menyambutnya dan berkata, “Hendak kemana
kamu, mudah mudahan Allah merahmati kamu.” Ahli ibadah itu menjawab, “Saya
hendak menebang pohon ini.” Iblis berkata, “Apa urusanmu dengan pohon itu, kamu
telah meninggalkan ibadahmu.” Ahli ibadah itu menjawab, “Sesungguhnya ini
sebagian dari ibadahku.” Iblis berkata, “Aku tidak membiarkanmu menebangnya.”
Lantas iblis itu berkelahi dengan ahli ibadah itu. Ahli
ibadah itu berhasil menangkap iblis itu dan membantingnya ke tanah dan
didudukinya iblis itu. Iblis berkata, “Lepaskan aku agar aku dapat berbicara
denganmu.” Ahli ibadah itu berdiri, lantas iblis berkata, “Sesungguhnya Allah
telah menggugurkan kewajibanmu menebang pohon itu; menebang pohon itu adalah
tugas nabi, bukan tugasmu kecuali bila nabi menyuruhmu.” Abid itu menjawab, “Aku
akan menebangnya.”
Kemudian abid berkelahi kembali dengan iblis itu dan ia berhasil membantingnya ke tanah dan menduduki dada iblis itu. Maka iblis berkata, “Apakah tidak ada keputusan yang lebih baik untuk menyelesaikan urusan kita?” Abid bertanya, “Apa itu?”
Kemudian abid berkelahi kembali dengan iblis itu dan ia berhasil membantingnya ke tanah dan menduduki dada iblis itu. Maka iblis berkata, “Apakah tidak ada keputusan yang lebih baik untuk menyelesaikan urusan kita?” Abid bertanya, “Apa itu?”
“Lepaskan dahulu aku” kata iblis itu “supaya aku dapat
mengatakan sesuatu kepadamu.” Abid melepaskannya. Iblis itu berkata, “Kamu
adalah orang miskin yang bergantung pada orang lain, maukah kamu melebihi
orang-orang itu sehingga kamu dapat membantu tetanggamu, kamu kenyang dan tidak
lagi memerlukan bantuan orang lain.” Abid menjawab, “Ya.” “Pulanglah..” kata
iblis “aku akan menyelipkan di bawah bantalmu dua dinar setiap malam. Uang itu
bisa membantu tetanggamu sehingga kamu lebih berguna bagi saudaramu, itu lebih
baik dari pada kamu menebang pohon itu.” Abid kemudian berpikir dan ia
berkesimpulan “Syekh itu benar, saya bukan seorang nabi, Allah tidak mewajibkan
saya menebang pohon itu, nabi pun tidak, menerima uang lebih bermanfaat bagi
orang banyak ketimbang menebang pohon itu.” Lantas Abid itu kembali ke tempat
ibadahnya. Pagi pagi ada dua dinar dekat kepalanya, ia mengambilnya, begitu
juga keesokan harinya. Pada pagi hari yang ketiga uang itu tidak ada.
Abid itu marah, ia mengambil kampaknya lagi hendak menebang
pohon itu. la disambut iblis yang menyamar seorang syekh. Syekh (sebenarnya
iblis) bertanya, “Kemana?” Kata abid “Saya akan menebang pohon itu.” Iblis
berkata, “Kamu berdusta, kamu tidak akan mampu melakukannya.” Lalu abid itu
memegang iblis tersebut hendak menangkapnya. Kata iblis, “kamu tidak akan
sanggup.” Bahkan iblis yang sanggup membanting ahli ibadah itu dan menduduki
dadanya sambil berkata, “Akan kamu teruskan menebang pohon itu atau aku akan
menyembelihmu.”
Iblis berkata, “Hai ahli ibadah, maukah kamu tahu mengapa kau kalah?” Kata iblis, “Sesungguhnya mula-mula kamu marah karena Allah, lalu aku kalah, kali ini kamu marah karena uang (dunia) lalu kamu saya kalahkan.”
Iblis berkata, “Hai ahli ibadah, maukah kamu tahu mengapa kau kalah?” Kata iblis, “Sesungguhnya mula-mula kamu marah karena Allah, lalu aku kalah, kali ini kamu marah karena uang (dunia) lalu kamu saya kalahkan.”
Dalam cerita di atas ikhlas itu ialah melakukan sesuatu
karena Allah, bukan karena uang. Karena Allah artinya karena diperintah oleh
Allah. Cerita ini membenarkan firman Allah Kecuali hamba-hambaKu yang ikhlas
(Shaad:83). Maksudnya, hanya hambaKu yang ikhlas yang tidak akan kalah melawan
setan.
3.
Tidak Riya’
Riya’ adalah sifat kebalikan dari ikhlas. Riya’ adalah melakukan amal
kebajikan namun tidak untuk mencari keridhaan Allah, melainkan untuk mencari
pujian atau kemasyhuran dari masyarakat. Selama roh masih bersemayam dalam
tubuh tidak ada jaminan manusia aman dari perbuatan riya’. Riya’ dapat selalu
menjangkiti siapapun. Tidak peduli itu orang yang berilmu atau tidak, orang
kaya atau miskin, berpangkat tinggi atau rendah. Semua bisa terkena sifat
riya’.
Allah Swt dengan tegas mengancam para pelaku amal kebaikan yang
didasari atas sifat riya’. Allah memperingatkan agar kita berhati-hati terhadap
godaan dan tipuan nafsu yang dapat menyebabkan kita terjebak dalam perbuatan
riya’.
Allah berfirman:
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤
ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥
ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ٦
وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ ٧
Artinya:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maun:4-7)
Sifat
riya’ bisa termasuk perbuatan syirik. Sebagaimana hadits dari Syaddad bin Aus
Ra. Berkata : Aku mendatangi Nabi dan ku lihat diwajahnya terbersit sesuatu
yang mengkhawatirkanku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu
resah?” beliau menjawab, “Aku khawatir sepeninggalku umatku berbuat syirik.”
Aku bertanya lagi, “Apakah mungkin sepeninggalmu mereka akan berbuat syirik,
wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Memang mereka tidak menyembah matahari,
bulan, patung dan batu. Namun mereka riya’ dalam amal-amal mereka dan riya’
adalah perbuatan syirik”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ, فَسُئِلَ عَنْهُ فَقَالَ: الرِّيَاءُ.
“Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah
syirik kecil.”
Ketika ditanya tentang (syirik kecil) itu, beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy)
Ketika ditanya tentang (syirik kecil) itu, beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy)
Oleh
sebab itu, marilah kita menjauhi sifat riya’ ini dengan benar-benar memurnikan
amal kita karena Allah supaya amal ibadah kita diterima Allah Swt.
Akhir
kata, mumpung kita masih diberikan kenikmatan hidup, kita pergunakan kesempatan
ini dengan sebaik-baiknya. Yaitu, dengan beribadah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya.
0 komentar:
Posting Komentar