اَلْحَمْدُ
للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا،
وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا
عَلِيًّا. اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ
لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا.
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا محَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ
بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا،
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ
يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ
فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ
اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ
إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Hadirin Jamaah Jum’at yang berbahagia
Marilah
pada siang hari ini kita senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada
Allah SWT dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Tak lupa kita bersyukur atas segala karunia
rahmat dan nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita semua. Utamanya
pada bulan ini kita memperingati kenikmatan yang besar yang diberikan
Allah kepada kita, yaitu nikmat kemerdekaan,.
Kemerdekaan
adalah nikmat yang sangat besar yang diberikan Allah kepada Negara
kita. Karena dengan adanya kemerdekaan, kita masih bisa menghirup udara
segar sampai saat ini. Andaikan belum merdeka, entah apakah kita masih
hidup atau sudah mati terkena lemparan granat atau tembakan para
penjajah. Dengan kemerdekaan pula kita bisa beribadah dengan tenang
dengan khusyuk tanpa rasa khawatir akan adanya bombardier pesawat
penjajah. Dengan kemerdekaan pula kita bisa bercengkerama dengan
keluarga, dengan istri ataupun anak-anak kita. Sungguh, kemerdekaan
adalah nikmat yang luar biasa yang diberikan Allah kepada Negara kita.
Bukan pemberian Belanda atau pun Jepang.
Ada
kisah, ada seorang raja Persia yang bernama Kisra Anu Syirwan melakukan
observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di
satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di
halaman rumah tersebut. Sang raja tertawa dan bertanya, "Wahai kakek,
kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan
berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah
mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau
tanam?". Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, "Wahai
raja, laqad gharasa man qablanâ fa akalnâ orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang wa naghrisu nahnu liya’kula man ba‘danâ, dan kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita".
Dari
cerita tadi kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan
ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini
kendati pun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan
tersebut kita rasakan sekarang.
Jika
kita telah diberikan sebuah pohon, apa yang akan kita lakukan? Apakah
kita membiarkan pohon tersebut kering dan akhirnya mati atau kita akan
merawatnya agar pohon tersebut tumbuh berkembang dan berbuah?
Tentu,
kita akan merawat pohon tersebut. Bagaimana kita merawat pohon
kemerdekaan ini agar bisa berkembang dan menghasilkan buah yang segar?
Allah swt berfirman dalam surat Al Hajj ayat 41:
ٱلَّذِينَ
إِن مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ
ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ
وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ ٤١
Artinya: “(yaitu) orang-orang
yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali
segala urusan.”
Kalimat
”Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” bisa berarti suatu bentuk
kemerdekaan dari penjajahan. Ada empat strategi yang harus dilaksanakan
dalam mengisi kemerdekaan ini:
Pertama, Iqamatus Shalah, mendirikan shalat dalam rangka membangun moralitas dan akhlakul karimah.
Suatu
bangsa akan dapat langgeng ketika memiliki moralitas dan kredibilitas
yang tinggi. Kunci membangun moralitas terletak pada pelaksanaan ibadah
shalat, dan keta’atan kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt.
”Sesungguhnya shalat mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. QS.
Al Ankabut: 45.
Shalat
juga menjadi barometer, ukuran, sukses tidaknya seseorang di akhirat
kelak, sebab pertama kali yang akan dihisab dari setiap manusia nanti
adalah masalah shalat. Jika shalatnya baik, otomatis semua amalan yang
lain akan dinilai baik, sebaliknya jika kualitas shalatnya buruk, maka
dengan sendirinya seluruh perbuatannya dianggap buruk. Shalat juga suatu
perintah yang diakhir hayat Rasulullah diwasiatkan pada umatnya agar
jangan sampai meninggalkannya, Rasulullah berujar: Ash Shalah… Ash
Shalah.
Ayat ini juga menggunakan redaksi jama’ ”aqamush shalah”
yang artinya banyak, yaitu dilaksanakan dengan berjama’ah di masjid.
Shalat berjama’ah di masjid juga menjadi cermin syi’ar dan kekuatan umat
Islam.
Dengan pelaksanaan shalat yang berkualitas seperti ini, maka moral manusia akan terbentuk dengan baik.
Kedua, Iitauz zakah, menunaikan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial.
Agama
Islam tidaklah hanya mengurusi masalah ruhani dan akhirat saja, namun
juga sangat memperhatikan keseimbangan kehidupan sosial bermasyarakat.
Itu dibuktikan dengan anjuran dibanyak tempat di Al Qur’an, penyebutan
perintah shalat selalu diiringi dengan perintah berzakat.
Zakat,
atau mengeluarkan harta yang kita punya untuk diberikan kepada orang
yang berhak menerimanya adalah dalam rangka membersihkan pendapatan atau
harta kita dari yang tidak halal atau yang masih samar-samar. Zakat
juga sebagai upaya untuk mengerem nafsu bakhil dalam diri seseorang,
karena kecendrungan seseorang itu cinta terhadap harta dan dunia. Zakat
juga sebagai simbol kepedulian seseorang kepada sesama.
Ketiga, Amar makruf nahi munkar, jaminan kepastian dan penegakan hukum.
Kecenderungan
kekuasaan adalah mendorong pelakunya untuk menyimpang dan menyalah
gunakan jabatan. Banyak contoh dalam sejarah, fir’aun misalkan yang
berupaya untuk melanggengkan kekuasaannya dengan segala cara.
Tingkatan
amar makruf dan nahi mungkar sudah diatur dalam agama. Yaitu dengan
pendekatan kekuasaan atau tangan, bagi yang berwenang. Dengan lisan atau
nasihat bagi siapapun yang bisa memberikan nasehat. Jika keduanya tidak
bisa dilakukan, maka dengan pengingkaran dalam hati. Inilah
selemah-lemah iman seseorang.
Dalam
konteks jaminan kepastian dan penegakan hukum, pernah ditegaskan
Rasulullah saw, ketika ada usaha dari para sahabat untuk minta
keringanan hukuman bagi seorang wanita bangsawan yang berzina. Namun
dengan tegas Rasul menolak dan mengatakan, ”Ketahuilah, penyebab
kehancuran umat terdahulu, adalah karena ketika orang kaya mencuri, maka
tidak ditegakkan hukuman. Namun kalau yang mencuri itu rakyat kecil,
seketika itu hukuman ditegakkan dengan seberat-beratnya. Ketahuilah,
seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang akan
memotong tangannya.” Seseorang sama dimata hukum. Hukum tidak bisa
dibeli dan digadaikan.
Keempat, Mengembalikan urusan kepada Allah swt semata.
Ketika
usaha untuk membangun moralitas dan akhlakul karimah lewat pelaksanaan
ibadah shalat. Dan menumbuhkan kepedulian sosial yang dibuktikan dengan
mengeluarkan zakat. Serta proses amar makruf dan nahi munkar sudah
dijalankan dengan seimbang, maka selebihnya kita serahkan urusan
kehidupan kepada kehendak Allah swt. Karena Dia-lah yang akan mengatur
urusan seluruh manusia. Dan Allah swt pasti menepati janji-Nya, yaitu
akan menolong orang yang mengikuti kehendak-Nya. Allah swt berfirman:
وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
Artinya: “Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” QS. Ali Imran : 159.
Disini,
manusia tidak perlu menyombongkan diri karena kecerdasan, kecanggihan
perlengkapan atau bahkan banyaknya pendukung. Merasa semua bisa diatur,
tanpa menyertakan Allah swt.
Sungguh,
manusia kecil tiada berarti jika dibandingkan dengan kehendak Allah
swt. Oleh karena itu segala persoalan sudah seharusnya disandarkan pada
Allah swt.
71
tahun Indonesia merdeka tidaklah waktu yang pendek, jika dilihat dari
umur rata-rata manusia. Namun kemerdekaan hakiki bangsa ini masih belum
menjadi bukti. Memperingati kemerdekaan tidak sekedar perayaan
serimonial saja, tidak sekedar semarak warna-warni bendera dan
umbul-umbul, juga tidak sekedar aneka lomba yang tidak mendidik.
Oleh
karena itu, kita harus tetap mengawasi dan juga mengisi kemerdekaan ini
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang telah Allah syari’atkan
dan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan belum pernah berhenti. Kita
harus selalu memupuk rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang
berdaulat. Jangan memprovokasi warga untuk memecah-belah yang akhirnya
akan timbul kekacauan. Karena kita telah keluar dari penjajah satu, kita
akan menghadapi penjajah yang lain. Bung Karno pernah mengatakan
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu
akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Hadirin Jamaah Jum’ah yang berbahagia
Kiranya
cukup sekian yang bisa kami sampaikan semoga kita diberi kekuatan oleh
Allah untuk mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya.
وتقبل منى ومنكم بتلاوته إنه هو السميع العليم، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحي