Era
reformasi diharapkan oleh masyarakat Indonesia terjadi banyak perubahan
disegala lini. Mulai dari ekonomi, hukum, pendidikan, birokrasi, politik dan
lain sebagainya. Tapi, kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Harapan untuk
menjadi lebih baik ternyata malah sebaliknya. Kasus korupsi menjadi sorotan
utama dalam era reformasi. Di berbagai daerah pun kasus-kasus korupsi seakan tak ada habisnya.
Dalam kehidupan masyarakat pun kesenjangan sosial terjadi. Rasa peka terhadap
kondisi sosial seakan sudah luntur. Yang kaya memamerkan kekayaannya disekitar
masyarakat yang hidup ‘sambat’ kekurangan.
Begitu juga fenomena yang terjadi di
kalangan remaja, gaya hidup hedonis dan glamour sudah melekat kuat dalam diri
mereka. Walupun harta kekayaan yang mereka gunakan bukan dari hasil jerih payah
sendiri, mereka berbangga dan sombong. Kuliah rasanya tidak keren kalau tidak
menggunakan mobil mewah, pakaian dan aksesoris lain yang dikenakan pun tidak
mau atau malu jika harganya murah. Kebanyakan dari remaja sekarang lebih bangga
hidup dengan gaya kebarat-baratan dimana batasan halal dan haram tidak jadi
acuan.Pola hidup materialisme mendominasi di hampir semua lapangan kehidupan.
Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh mana berhasil meraup sebanyak-banyak
materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan moral. Maka berlomba-lombalah
setiap orang menjual diri dan harga diri untuk meraih sebanyak-banyaknya
materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya materialisme itu. Maka tidak
heran jika masyarakat kita berlomba-lomba menjadi selebriti, menjual diri dan
harga diri demi keuntungan materi semata. Ada apa ini?
Faktor
utama terjadinya hal tersebut adalah sifat tamak, serakah yang terdapat dalam
diri manusia. Dan yang bisa melawan sikap tamak dan serakah adalah sikap zuhud.
Ketika kita mendengar kata zuhud,
mungkin yang terlintas dalam pikiran kita adalah kehidupan yang jauh dari
gemerlapan dunia. Atau kehidupan yang menyepi dari keramaian dan hiruk pikuk
kesibukan dunia, kehidupan yang sederhana. Padahal sebenarnya belum tentu
kehidupan yang demikian dinamakan zuhud. Dan belum tentu juga kehidupan yang
akrab dengan kemewahan dan gemerlapan dunia bisa dikatan tidak zuhud.
Banyak orang yang salah paham
terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta,
menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Zuhud bukanlah
meninggalkan kenikmatan dunia, bukan berarti mengenakan pakaian yang lusuh, dan
bukan berarti miskin. Zuhud juga bukan berarti hanya duduk di masjid, beribadah
dan beribadah saja tanpa melakukan kegiatan-kegaitan lainnya. Tidak demikian,
karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian
dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh
pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta
mengharap sedekah dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah
atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar
memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama
tidak tertipu oleh dunia.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba
‘an syaiin wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri
dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang-orang yang melakukan zuhud disebut
zahid, zuhhad atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau
sedikit.
Sedang
secara terminologi banyak sekali definisi yang diungkapkan oleh para pakar
(ulama’) diantaranya sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Dzar:
الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ
بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى
الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ
اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا
أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
“Zuhud
terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga
menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu
yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu.
Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap
pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”
Ibnu Taimiyah mengatakan –
sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah
meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.
Jamaah Jum'at yang dirahmati Allah,
Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh
karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang
bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Kadang kita tertipu dari penampilan.
Banyak yang mengira dengan pakaian sederhana, pakaian islami dia seorang zuhud.
Sedang orang yang berpakaian necis, berdasi tidak zuhud. Bisa saja sebaliknya.
Karena hakekat zuhud adalah di hati orang tersebut.
Zuhud bukan berarti juga meninggalkan
dunia secara total dan menjauhinya. Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai
seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat Nabi yang dijanjikan masuk syurga, juga
mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya
raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang
sebenarnya.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata
bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail
berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul
Mubarok,
أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة،
ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
“Engkau
memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan
(tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta.
Mengapa bisa begitu?”
Ibnul
Mubarok mengatakan:
يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي،
وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
“Wahai
Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya
untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk
memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada
Rabbku”.
Jamaah Jum'at yang berbahagia,
Jadi, zuhud tidak berarti tidak
memiliki apa-apa. Bahkan, jika tidak memiliki apa-apa bisa menjadi
peminta-minta. Dan ini berarti mengharap dunia.
Sikap zuhud ini bisa dimiliki siapa
saja yang menginginkannya. Mulai dari orang miskin sampai orang kaya bisa
memiliki sifat ini. Tapi, jangan menjadikan sifat zuhud hanya ketika tertimpa
kemiskinan. Artinya, karena miskin ‘terpaksa’ zuhud. Seperti istilah zuhud yang
dikemukakan oleh Ibnu Khafif, “Zuhud adalah menghindari dunia tanpa
terpaksa.” Zuhud adalah tidak bersyaratkan
kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun
zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi
keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud
menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari
hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam
menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang
berikut : “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari
(kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi” . Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah
untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu
seakan kamu akan mati esok hari”
Yang jelas zuhud merupakan salah
satu sikap untuk menjaga jarak dari dunia, artinya kita menjadikan dunia
sebagai sarana untuk beribadah, menggapai kebahagiaan di akhirat, dan bukan
menjadikannya sebagai tujuan hidup. Karena kehidupan dunia hanyalah
sementara, sesuai dengan firman Allah SWT
“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan teraniaya
sedikitpun.” (QS. 4:77).
Sedang tanda-tanda orang zuhud
menurut Imam Al-Ghazali, yaitu: pertama, tidak bergembira dengan apa
yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di
sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun
kedudukan. Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih
didominasi oleh lezatnya ketaatan.
Zuhud
berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan
tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya.
Jamaah Jum'at rahimakumullah,
Lantas,
apakah zuhud itu murni muncul dari ajaran Islam? Harun Nasution mencatat ada
lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara
hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang
megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran
meninggalkan dunia dan berkontemplasi (merenung dengan khusyu’) inilah yang
mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga,
dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian
roh yang telah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan
dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untuk mencapainya
orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima,
pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan
mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah
salah satu pemimpin yang paling zuhud. Masyarakat merasakan ketentraman,
kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak ada lagi orang yang miskin yang
meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi. Hal ini berarti, walau
khalifah seorang zahid, Beliau tetap mendorong rakyatnya untuk bekerja guna
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga pada masa kepemimpinannya tidak
dapat dijumpai orang yang berhak menerima zakat. Saking, makmurnya
rakyat Khalifah Umar.
Memang,
banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai
dunia, tapi sebaliknya banyak dijumpai nash agama yang memberi motivasi beramal
demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka
(QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dhuha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
Jika
kita melihat kehidupan sekarang ini. Kebanyakan masyarakat dan pemimpin hidup
dengan gaya hedonisme. Sehingga moral dan agama yang ada dalam diri mereka tidak diperhatikan. Maka
sifat zuhud ini sangat perlu ada dalam setiap diri manusia. Untuk mencapai
kemakmuran bersama. Karena pemimpin yang kaya atau masyarakat yang kaya akan
membantu rakyat yang hidupnya serba kekurangan. Tidak hanya pamer kekayaan
mereka.
Jamaah Jum'at yang dirahmati Allah,
Jadi, zuhud sangat relevan ada dalam diri setiap manusia sepanjang zaman. Untuk membentengi diri dari sifat rakus terhadap dunia yang mengakibatkan mereka lalai terhadap kehidupan akheratnya. Zuhud adalah sifat hati, bukan menampakkan kelusuhannya atau kemewahannya dan seutama-utama zuhud adalah menyembunyikan kehidupan zuhudnya itu.
Akhirul Kalam,
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Jamaah Jum'at yang dirahmati Allah,
Jadi, zuhud sangat relevan ada dalam diri setiap manusia sepanjang zaman. Untuk membentengi diri dari sifat rakus terhadap dunia yang mengakibatkan mereka lalai terhadap kehidupan akheratnya. Zuhud adalah sifat hati, bukan menampakkan kelusuhannya atau kemewahannya dan seutama-utama zuhud adalah menyembunyikan kehidupan zuhudnya itu.
Akhirul Kalam,
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
0 komentar:
Posting Komentar